Menimbang Prostitusi Daring Masuk RKUHP

Kasus prostitusi berbasis jaringan media sosial online (daring) menjamur dan terkuat satu per satu. Terbaru, seperti diwarta media, aparat Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease menetapkan dua wanita, yakni K dan F, sebagai tersangka dalam kasus prostitusi online di Kota Ambon.

Kapolres Pulau Ambon lewat Kasubbag Humas Polres Pulau Ambon, Ipda Julkisno Kaisupy, kepada sejumlah awak media di ruang kerjanya, Rabu (20/02/2019) mengatakan, kedua wanita yang kini telah ditahan itu berprofesi sebagai mucikari. Sedangkan 8 wanita muda yang masuk dalam jaringan prostitusi online itu kini telah dipulangkan.

Sebelumnya, prostitusi online diungkap oleh Polda Jawa Timur beberapa waktu lalu, yang menjerat sejumlah artis antara lain berinisial VA.

Seiring fenomena pelacuran yang menjamur dengan mengandalkan saluran media sosial, mencuat wacana memasukkan delik prostitusi jenis ini ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dirumuskan Komisi III DPR RI.

Sejauh ini memang belum ada pembahasan secara khusus menyangkut hal ini dalam KUHP maupun RKUHP.

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menginformasikan, memang belum ada pasal khusus yang mengatur delik prostitusi daring seperti pada contoh kasus VA yang diungkap Polda Jatim.

“Dalam pertemuan dengan Kapolda Jatim, ada usulan agar memasukkan delik ini ke dalam RKUHP,” kata Nasir yang juga politisi PKS ini, Selasa (19/02/2019), di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, dalam diskusi Dialektika Demokrasi yang menyoal prostitusi online.

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menjelaskan, selama ini KUHP hanya mengatur hukuman bagi mucikari dan perempuan pelaku prostitusi.

KUHP belum menjangkau konsumen pengguna jasa prostitusi itu sendiri.

“Saya kira ini harus menjadi perhatian, karena hal tersebut menyebabkan pihak kepolisian maupun penegak hukum kesulitan untuk mengkriminalisasi pengguna prostitusi,” papar Fickar kutip laman resmi DPR RI, Selasa.

Dalam KUHP, sambung Fickar, hubungan yang dilandasi suka sama suka tak terjerat pidana. Yang jadi persoalan ketika ada transaksi pembayaran dalam kasus prostitusi tersebut. Di sinilah pentingnya menampung wacana prostitusi daring dalam RKUHP yang sedang dibahas DPR bersama pemerintah.

Selama ini, regulasi untuk mengatur masalah perzinaan –tak sebatas prostitusi online— telah diperjuangkan berbagai pihak agar dimasukkan ke dalam RKUHP. Direktur the Center for Gender Studies (CGS), Dr Dinar Dewi Kania, mengatakan, RUU KUHP itu harus dikawal bukan ditolak.

“Kenapa? Karena ada pasal pasal yang sudah lebih mengakomodasi nilai nilai agama dan moralitas dibanding KUHP yang berlaku saat ini seperti zina, pelarangan promosi alat kontrasepsi di muka umum kecuali bagi petugas yang ditunjuk resmi. Perluasan pasal cabul sesama jenis yang mencakup usia di atas 18 tahun, dll,” ujarnya dalam wawancara dengan hidayatullah.com, Februari 2018.

Di mana titik krusial bagi masyarakat agar bisa memantau RUU ini? Ia menjelaskan, pertama, dalam Pasal 284 KUHP, yang dinyatakan terlarang adalah perzinaan bagi pasangan yang terikat pernikahan saja. Artinya, hubungan itu tidak dinyatakan terlarang jika kedua pelakunya belum menikah. Pasal ini di RUU KUHP menjadi Pasal 484 yang mencakup zina baik bagi yang sudah menikah ataupun belum menikah karena untuk melindungi bangsa Indonesia dari seks bebas yang semakin marak.

Kedua, dalam Pasal 285 KUHP, pemerkosaan telah dinyatakan terlarang, namun pemerkosaan didefinisikan sebagai pemaksaan oleh seorang lelaki terhadap perempuan. Padahal, dengan merebaknya homoseksualitas saat ini, banyak juga lelaki yang menjadi korban pemerkosaan. Pasal ini sekarang menjadi pasal 423 yang tidak saja melindungi korban perempuan tapi juga laki laki.

Ketiga, dalam Pasal 292 KUHP, hubungan sejenis yang dinyatakan terlarang hanya terbatas jika dilakukan dengan anak-anak. Padahal perilaku homoseks tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang religius, juga tidak sejalan dengan adat dan kepribadian bangsa. Oleh karena itu di dalam RUU KUHP pasal 495 diharapkan dapat juga mencakup cabul sesama jenis di atas 18 tahun.

Perluasan makna ini justru akan melindungi semua pihak jadi tidak hanya anak-anak saja yang terlindungi. dan Bila pelakunya anak-anak ada UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang menjadi payung hukum bagi mereka. (sumber: hidayatullah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>