Setiap pekan John Pugh rutin menghadiri misa bersama keluarganya. Ini membuat tradisi Katolik mengakar di masa kecilnya. Rutinitas itu berlanjut hingga Pugh memasuki usia sekolah.

Memasuki dunia kerja, rutinitas itu tidak berubah. “Anda bisa menyebut saya sebagai pecandu Katolik,” ucap dia seperti dilansir onislam.net, Selasa (15/4).

Pandangan Pugh terhadap gereja berubah ketika ia mulai memasuki dunia keuskupan. Yang ia temukan, ada perbedaan pandangan di kalangan penganut Katolik soal posisi gereja dan yesus. Perbedaan itu memang sedikit menggoyahkan pandangan Pugh.

“Mimpi saya menjadi bagian dari gereja hancur, saya diberhentikan, dan saat itulah saya kehilangan kepercayaan terhadap gereja,” kenang dia.

Ia mulai merasa depresi, dan semakin depresi ketika banyak ketidakkonstistenan diperlihat gereja. Ini ditambah, keputusan istrinya mempelajari Islam. Istrinya itu mulai menemukan satu konsep teguh kepercayaan kepada Allah.

“Dan ia menjadi Muslim,” ucapnya.

Semakin bingunlah Pugh. Kekecewaan yang mendalam terhadap gereja, ditambah adanya kurang rasa hormat diantara pelayan gereja membuatnya terus berpikir. Apalagi ketika ia membandingkan dengan ajaran Islam.

“Saya mengetahui bahwa saya mulai tertarik dengan ide-ide Islam,” kata dia.

Islam, dalam pandangan Pugh, menyatakan setiap manusia itu sama, tidak ada yang lebih unggul kecuali keimanan dan ketakwaan seorang Muslim kepada Tuhannya. Setiap Muslim adalah saudara bagi setiap Muslim, dan umat Islam merupakan satu persaudaraan.

“Tidak ada yang milik Muslim adalah sah untuk sesama Muslim kecuali itu diberikan secara bebas dan sukarela. Kita diingatkan untuk tidak melakukan ketidakadilan untuk diri kita sendiri. Suatu hari kita akan bertemu Allah dan kami akan menjawab atas semua perbuatan kita,” paparnya.

“Sepanjang hidup saya, Allah memimpin saya ke Islam. Hanya saja, saya tidak tahu.  Segala puji bagi Allah SWT yang seorang diri memimpin dan memberikan rahmat dan cahaya-Nya,” ungkap dia. (sumber: ROL/15/4/2014)