Monthly Archives: October 2014

Mengenal Rabi Yehuda Glick, Provokator Kekerasan di Al-Aqsha

Rabi Yehuda Glick, ekstrimis Yahudi yang namanya terkait erat dengan ingatan bangsa Palestina terhadap tentang aksi penodaan Masjid Al-Aqsha. Dialah yang bekerja intens menghina dan melecehkan perasaan umat Islam dengan menodai tempat suci Islam di Al-Quds.
Rabi Yehuda Glik adalah seorang advokat kelahiran Amerika Serikat (AS) yang berusaha dan paling getol memperjuangkan memberikan akses bagi warga Yahudi agar dapat mengunjungi kuil Yahudi yang letaknya di Masjidil Aqsha.
Hari Rabu (29/10/2014) Rabi Glick mendapat giliran usaha pembunuhan atas dirinya oleh seorang pejuang Palestina, Muataz Hijazi, melalui kendaraan bermotor dari kota Al-Quds usai Glick mengikuti konferensi lembaga Amanah Bukit Kuil (Yahudi menyebutnya Bukit Moriah) yang ditembak. Ia pun terkapar luka parah.

Glick adalah sosok gerakan sayap kanan Yahudi Israel paling menonjol dan ekstrim. Di kalangan ‘Israel’ ia dikenal paling getol membela membela apa yang mereka sebut “Bukit Kuil” yang mereka klaim berada di masjid Al-Aqsha dan Haram al-Sharif dan berusaha dikuasainya.
Rabi Yahudah dan market impian menguasai Masjid Al Qasha

Rabi Yahudah dan market impian menguasai Masjid Al Aqsha

Rabi Glick 48 tahun tinggal di pemukiman Gentael di wilayah Palestina terjajah di Hebron. Ia ingin menobatkan dirinya sebagai pembela utama hak Yahudi untuk ritual di Al-Aqsha dan naik bukit Kuil itu.

Seperti dilansir TV 2 Israel, Glick selama lima tahun menjadi lembaga Peninggalan Bukit Kuil (Bukit Moriah). Dia anggota partai Likud dan di dewan pimpinan pusat partai ini.

Glick juga pernah berada di departemen Penampungan dan Imigrasi Yahudi dan sering mengkritik anggota Knesset tidak peduli dengan hak Yahudi menggelar ritual di Bukit Kuil.

Aktivitasnya sudah tidak terhiting, di mana berkali-kali sebagai pemimpin tur kalangan Yahudi ekstrim dan aksi brutal menyatroni Masjidil Aqsha. (sumber: hidayatullah/30/10/2014)

Intimidasi Anti Islam Naik di Kanada Setelah Serangan Terhadap Tentara

Laporan pelecehan anti Islam semakin meningkat di Kanada setelah insiden serangan pekan lalu menewaskan dua tentara oleh orang yang konon terinspirasi Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).
Laporkan iklan ?
Dewan Nasional Muslim Kanada mengatakan mereka melihat adanya peningkatan sepuluh kali lipat terkait laporan pelecehan, termasuk penghinaan rasial di bus umum, catatan penghinaan yang dipasang di kaca depan mobil dan intimidasi di sekolah.

Halloween, Tradisi Pagan Yang Tak Perlu Ditiru Muslim

Dalam masyarakat Barat, malam tanggal 31 Oktober akan selalu dirayakan pesta Halloween atau Hallowe’en. Pada hari ini anak-anak maupun remaja berpakaian aneh-aneh dan menyeramkan. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah lainnya sambil meminta permen atau coklat, dan berkata “beri kami permen atau kami jahili.”
Di zaman sekarang, anak-anak biasanya tidak lagi menjahili rumah orang yang tidak memberi apa-apa. Sebagian anak-anak masih menjahili rumah orang yang pelit dengan cara menghiasi pohon di depan rumah mereka dengan tisu toilet atau menulisi jendela dengan sabun.
Halloween identik dengan setan, penyihir, hantu goblin dan makhluk-makhluk menyeramkan dari kebudayaan Barat. Halloween disambut dengan menghias rumah dan pusat perbelanjaan dengan simbol-simbol Halloween.

Tradisi semacam ini awalnya dikenal oleh para remaja lewat film-film Hollywood, kemudian dianggap keren dan ditiru mentah-mentah untuk dirayakan di tempat-tempat hiburan kelas menengah atas di kota-kota besar. Padahal sebenernya kita bisa kritis menyikapi budaya aneh semacam ini, tentunya setelah kita paham bagaimana sejarahnya dan bagaimana motif-motif masyarakat Barat dalam merayakannya. Masalahnya, kalau nggak dicari tahu mana mungkin kita tahu?

Halloween itu berasal dari tradisi masyarakat Celtic—yang dulu mendiami wilayah Irlandia, Skotlandia, dan daerah sekitarnya.

Mereka dulu percaya kalau pada hari terakhir di bulan Oktober para arwah gentayangan di muka bumi. Tapi tradisi ini sebenarnya sudah lama punah.

Lalu, sekitar abad pertama Masehi, masyarakat Celtic dijajah oleh Romawi, dari situ lalu mereka menambahkan tradisinya dengan dua festival bernama Feralia, diperuntukkan untuk menghormati orang-orang yang sudah mati, dan Pomona, yaitu festival untuk merayakan musim panen, yang istilah itu diambil dari nama seorang dewi.

Sekitar abad ke-8, gereja Katolik mulai merayakan tanggal 1 November sebagai hari untuk menghormati para santo dan santa yang tidak memiliki hari perayaan khusus. Disitu akhirnya dimulai tradisi bahwa misa yang diadakan pada hari itu disebut Allhallowmas, yang berarti misa kaum suci (red: dalam bahasa Inggris disebut hallow). Malam sebelumnya, tanggal 31 Oktober, lalu disebut All Hallows Eve. Inilah cikal-bakal Halloween.

Lalu beranjak memasuki abad ke-18, banyak warga asal Eropa yang berimigrasi ke Amerika.Tradisi ini tetap mereka pertahankan dan bentuk perayaannya terus berkembang sampai sekarang.

Buat anak-anak, Halloween artinya mereka jadi punya kesempatan untuk pakai kostum dan dapetin banyak permen. Kalo buat orang dewasa, Halloween sama aja punya kesempatan ikutan pesta kostum.

Simbol-simbol yang dipakai saat Halloween biasanya dekat dengan hal-hal yang berbau kematian, ‘keajaiban’, dan monster-monster dari dunia mitos. Karakter yang sering dikaitkan dengan Halloween, misalnya karakter setan dan iblis dalam tradisi Barat, manusia labu, makhluk angkasa luar, tukang sihir, kelelawar, burung hantu, burung gagak, burung bangkai, rumah hantu, kucing hitam, laba-laba, goblin, zombie, mumi, tengkorak, dan manusia serigala (werewolf).

Di Amerika Serikat, simbol Halloween biasanya dekat dengan tokoh dalam film klasik, mulai dari Drakula dan monster Frankenstein. Hitam dan oranye dianggap sebagai warna khas Halloween, walaupun sekarang banyak juga barang-barang Halloween yang kadang berwarna ungu, hijau, dan merah.

Bagi toko, acara ini kesempatan bagus buat jualan atau promosi. Helloween bisa jadi tema dekorasi yang menarik buat toko mereka. Intinya, perayaan Halloween di Amerika memang nggak ada batasnya.

Di belahan selatan benua Amerika, tepatnya di Meksiko, masyarakatnya punya kebiasaan dan pemahaman yang agak berbeda soal tanggal 31 Oktober itu. Mereka merayakan Hari Para Arwah (El Dia de Los Muertos), yang tujuannya buat menghormati para kaum suci. Berawal dari tradisi gereja Katolik, perayaan itu sampai sekarang dianggap sebagai salah satu hari besar keagamaan dan dirayakan dengan meriah.

Halloween berasal sebuah perayaan untuk menandai awal musim dingin dan hari pertama Tahun Baru bagi orang kafir kuno dari Kepulauan Inggris. Pada kesempatan ini, mereka meyakini bahwa roh-roh dari dunia lain (seperti jiwa-jiwa orang mati) dapat mengunjungi bumi selama waktu ini dan berkeliaran.

Pada saat ini, mereka mengadakan perayaan untuk dewa matahari dan penguasa yang mati. Matahari mengucapkan terima kasih atas hasil panen, dan memberikan dukungan moral untuk menghadapi “pertempuran” dengan musim dingin. Pada zaman kuno, orang-orang kafir membuat pengorbanan hewan dan tanaman untuk menyenangkan para dewa.

Mereka juga percaya bahwa pada 31 Oktober penguasa (Tuhan) yang mati mengumpulkan semua jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal pada tahun itu. Jiwa-jiwa setelah kematian, akan tinggal di dalam tubuh binatang, maka pada hari itu, menurut mereka, tuhan akan mengumumkan bentuk yang seharusnya diterima oleh mereka selama tahun berikutnya.

Hampir semua tradisi Halloween punya background sejarah budaya pagan kuno, atau paling nggak budaya Kristen. Dari sudut pandang Islam, kepercayaan ini sama dengan bentuk penyembahan berhala. Tak beda jauh dengan apa yang dilakukan orang-orang jahiliyah di jaman pra-Islam.
Jadi, hanya orang bego yang tak paham agama saja yang mau ikut-ikutan tradisi para penyembah berhala atau tradisi pagan. Akan sangat konyol pula jika di antara kita, anak-anak, dan keluarga Muslim ikut-ikutan merayakan sesuatu tanpa tahu latar-belakang dan tujuannya, cuma gara-gara orang-orang Barat atau teman-teman kita sudah biasa melakukannya dengan alasan, “Ah,..ini kan untuk Just for fun aja.”
Memang tak ada yang lain hingga tradisi pagan jadi rujukan hiburan? Semoga pelajar Muslim tak ikut-ikut menirunya. (sumber: hidayatullah/Ai)

Menjadi Pemalu yang Baik Di Era Global

Rasa malu tiada lain akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, karena rasa malu adalah hal positif bagi setiap insan, apa jadinya jika manusia tidak mempunyai rasa malu, pastilah kebaikan akan lenyap seiring dengan banyaknya keburukan, karena manusia bebas berbuat sesuai dengan kehendaknya, apa jadinya jika manusia tidak malu-malu lagi dalam melakukan kemaksiatan, pastilah kebinasaan dan kepedihan hidup yang akan didapat.
Dewasa ini ramai-ramai orang berbuat sesuatu atas nama kebebasan tanpa memperhatikan rasa malu, sebagai contoh saat seseorang menyetel televisi atau bermain musik sambil bernyanyi dengan suara kencang hingga suaranya mengganggu tetangganya, perilaku seperti ini semata-mata berdalilkan kebebasan apalagi televisi, radio, DVD atau alat musik itu milik pribadi dan bukan milik tetangganya, hal ini sah-sah saja, akan tetapi jika sudah bersinggungan dengan masyarakat, mereka juga punya kebebasan, sehingga ada sebuah kaidah dari Ibnu Kholdun mengatakan: “Kebebasan seseorang bisa menjadi terbatas dengan adanya kebebasan orang lain”
Bebas belum tentu merdeka, akan tetapi merdeka sudah pasti bebas, maka jadilah orang yang merdeka yaitu orang yang mengerti akan arti kebebasan yang positif. Saat seseorang bersendirian bisa saja ia merasa bebas dan bisa berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya sehingga inilah yang diartikan kebebasan, namum jika sudah bergesekan dengan kebebasan orang lain, maka sifat kebebasan itu menjadi terbatas, artinya kebebasan kita jangan sampai mengganggu kebebasan orang lain, dalam bahasa sederhana yang kita fahami adalah belajar memahami toleransi, orang yang toleran adalah orang yang merdeka dan memerdekakan orang lain.
Jika seseorang mempunyai rasa malu maka hidupnya akan memperhatikan batasan yang berhubungan antara dirinya dan orang lain, jika ingin berbuat atau melakukan sesuatu maka ia akan melihat dampak yang akan menimpa dirinya dan juga orang lain. Rasa malu inilah yang sejatinya menjadi rem seseorang dalam berprilaku dan bertutur kata.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan seluruhnya. [HR. Muslim, Abu dawud, Al Haitsami dan Ahmad]
“Tujuaah puluh lima cabang, yang utama ialah kalimat La ilaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan di jalanan, dan malu itu satu cabang dari iman.” [HR. Muslim]
Rasa malu juga merupakan warisan para nabi, “Di antara yang bisa diperoleh manusia dari pesan para nabi terdahulu adalah kalau engkau tidak malu, silakan berbuat sesukamu.” [HR. Bukhari]
Keanekaragaman rasa malu:

Malu dari AllahTa’ala:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla malu jika seorang hamba membentangkan kedua tangannya kepada-Nya seraya meminta kebaikan, lalu ditolaknya dengan sia-sia.” [HR. Ahmad]

Malunya Rasulullah:

“Rasulullah itu lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya.” [HR. Muslim, Bukhari dan Ibnu Hibban]

Rasa malu yang dimiliki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamadalah rasa malu melakukan kesalahan dan maksiat.

Malunya seorang pemuda tampan nan elok rupawan kepada AllahTa’ala:

Firman Allah ta’ala di surat Yusuf ayat 23:

“Dan wanita (Istri Al-Aziz) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tiada akan beruntung.”

Malu ala gadis desa:

Firman Allah Ta’ala di surat Al Qashash ayat 25:

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.”

Malu kepada orang yang sudah meninggal:

Fakta bahwa Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah Shallallau ‘alaihi wasallamdikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar. [HR. Ahmad]

Malu yang terpuji:

Betapa dicontohkannya oleh wanita kaum Anshar yang tidak terhalang oleh rasa malu untuk mempelajari agama Allah Ta’ala khususnya dalam masalah fiqih kewanitaan dan yang berhubungan dengan keluarga (mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan rahmat kepada wanita Anshar).

Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertanya tentang masalah agama.” [Shahih al-Bukhari, kitab ilmu)

Malu yang kurang baik:

Ada sedikit cerita dan ini adalah kisah nyata yang menimpa rekan saya atau mungkin juga pernah menimpa anda atau rekan anda. Singkat cerita ketika itu rekan saya pernah mengeluh akan piutang dari temannya yang enggan membayar hingga waktu yang amat lama dan belum ada ucapan ‘’maaf’’ atau pemberitahuan darinya kalau ‘’saya belum punya uang, nanti ya saya bayar hutangnya”. Lalu saya tanyakan padanya, kenapa tidak kamu tagih saja sama dia? “malu” jawabnya singkat.

“Seharusnya peminjamlah yang malu karena belum membayarkan hutangnya dan belum juga memberi konfirmasi apapun, bukan malah yang dipinjami (begitu jawaban logis yang terbesit di benak saya), atau mungkin dia lupa karena sudah terlalu lama, makanya harus diingatkan dengan baik” sambung saya pada rekan saya.

Malu tapi malah mengeluh, justru rasa malu inilah yang harus dihindarkan, padahal niat kita baik, kita juga butuh uang dan yang terpenting adalah cara penyampaiannya yang sopan tanpa harus menyinggung perasaan apalagi menyakiti hati si peminjam uang. Toh manusia adalah makhluk berakal yang bisa disentuh dengan bahasa hati dan kelemah lembutan sekeras apapun dia.

Malu untukmenundakebaikan dan mencegah kemungkaran.

Sejatinya memiliki rasa malu itu bisa mendukung manusia untuk terus berbuat kebaikan di manapun ia berada, rasa malu senantiasa akan menjadikan manusia terpuji dan mulia, adapun untuk konteks kekinian rasa malu itu bisa mendorong:

Sang penguasa untuk adil
Para menteri untuk tunduk runduk pada atasan dan bekerja maksimal
Para anggota dewan menjadi tauladan bagi rakyat
Para elit politik bersatu membangun negeri tanpa saling menjatuhkan satu sama lainnya.
Pimpinan KPK terpilih berkomitmen menuntaskan kasus korupsi
Para penegak hukum untuk amanah.
Para pegawai negeri atau swasta untuk lebih disiplin
Rakyat bersatu dan turut berperan aktif dalam membangun negeri
Umat Islam dari segala unsur berjalan bersama
Para pelajar bersungguh-sungguh mencari ilmu dan haus akan prestasi
Para pengusaha untuk lebih profesional
Orang kaya menjadi lebih peka dan gemar berbagi
Pedagang menjadi lebih jujur
Para wartawan obyektif dalam menyajikan berita
Anak berbakti kepada orang tua
Istri taat dan patuh pada suami, suami menjadi tauladan bagi keluarga
Manusia untuk senantiasa berbuat baik
Kaum hawa lebih feminim dan rapih dalam berbusana sesuai dengan ajaran dan tuntunan Islam
Para lajang untuk segera mengubah statusnya dengan menikah
Semua manusia untuk bersyukur atas segala pemberian Tuhan yang tak bisadihitung

Bagaimana dengan saya, anda dan kita semua? Sudahkah rasa malu ini bisa mendorong kita untuk menyegerakan kebaikan, kebaikan yang sejatinya bisa menyegerakan kebahagiaan. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari keanekaragaman rasa malu dalam pembahasan ini. Semoga. (sumber: dakwatuna/ Guntara Nugraha Adiana Poetra, Lc. MA)

Thalhah Bin Ubaidillah: Seorang Sahabat yang Dijanjikan Surga

Thalhah telah menyatakan keislamannya sejak awal terbitnya fajar dakwah, dan bergabung dengan kapal iman sejak awal keberangkatannya. Ia menempatkan dirinya pada posisi yang istimewa dalam barisan terdepan yang mendahului penduduk bumi lainnya untuk mengangkat bendera dakwah. Ia maju dengan seluruh kekuatan dan gelora semangat seorang pemuda dan kejujuran orang-orang yang ikhlas serta dedikasi seorang pecinta dalam membela agamanya. Dalam setiap peristiwa ia memberikan sebuah kontribusi nyata, dan bahkan seringkali ia mempersembahkan banyak kontribusi penting dalam satu peristiwa.
Nikmat Allah sekan terus mengalir tanpa putus kepadanya. Dan itu ditambah dengan berbagai kabar gembira yang diberikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keapdanya serta berbagai pujian beliau untuknya atas kiprah dan kontribusinya yang begitu banyak. Maka terkumpullah dalam diri Thalhah berbagai kelebihan dan keutamaan yang biasanya dimiliki oleh beberapa orang sekaligus dan hanya didapatkan oleh mereka yang berusaha menggapai puncak.
Baris pertama yang terukir dalam lembar keutamaannya adalah kedudukannya sebagai kelompok pertama yang masuk Islam, dan diikuti dengan pembelaannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam dakwahnya dan ketika menghadapi berbagai siksaan di Mekah. Ia ikut berperan dalam mengibarkan benderah dakwah bersama beliau, lalu berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya untuk berperan dalam membangun Negara Islam di Madinah Al-Munawwarah. Di sana ia meneruskan torehan kisah-kisah kepahlawanan yang mengagumkan. Rasulullah SAW beraksi untuknya bahwa ia termasuk ahli Badar, lalu ikut dalam perang Uhud. Di perang tersebut Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memuliakannya dengan pujian yang bahkan sulit untuk diungkapkan, dan mewajibkan baginya surga atas kiprahnya di sana dan di berbagai peristiwa lainnya. Ia turut hadir dalam perang Hudaibiyah dan memberikan Bai’atur Ridhwan di bawah pohon. Rasulullah SAW mengumumkan di hadapan seluruh shshabat bahwa Thalhah termasuk di antara mereka yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, dan bahwa ia adalah seorang syahid yang berjalan di muka bumi, dan menjulukinya dengan Thalhah Al-Fayyadh (yang dermawan).
Seluruh keistimewaan dan kelebihan ini menyatu dalam dirinya, yang membentuk sebuah mahkota yang berkilauan di atas kepalanya. Saudara-saudaranya mengetahu keutamaan ini, terukir indah dalam lembaran perjalanan hidupnya dan akan terus dibaca oleh para pengikutnya dan orang-orang yang akan selalu mencintainya dari kaum muslimin sepanjang masa.
Kelebihan dan Keutamaannya
Allah Ta’ala telah memberikan kemuliaan kepada sekelompok shahabat dengan menjadikan mereka kelompok pertama yang menyatakan keislaman mereka, dan memberikan mereka nikmat yang besar berupa kesempatan untuk membela Rasul-Nya SAW dan menyokong beliau sejak awal dimulainya kewajiban dakwah. Mereka membuktikan itu kepada Allah dalam banyak peristiwa yang mereka lalui, maka Allah menjanjikan untuk mereka berbagai nikmat nya, dan menurunkan ayat Al-Quran uamg alam terus di baca sepanjang masa tentang mereka. Allah Ta’ala berfirman, : “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah akan menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung (Q.S At-Taubah [9]: 00).
Thalhah adalah satu di antara kelompok terbaik tersebut, bahkan ia termasuk di antara yang terdepan dari mereka.Dakwah melewati masa sulit yang berhasil dilewati dengan kesabaran dan keteguhan. Lalu medan dakwah pun berpindah ke bumi hijra. Thalhah hijrah meninggalkan negerinya Mekah, keluarganya, rumahnya, serta tempat kelahiran dan tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya. Ia menyusul Nabi SAW ke tempat hijrah beliau, dan ia pun menerima kemuliaan hijrah tersebut, dan berhak menerima lencana Muhajirin yang dipuji oleh Allah dalam firmannya, “(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridhaannya dan demi menolong (agama) Allah dan Rasulnya. Mereka itulah orang-orang yang benar (Qs. Al-Hasyr [59]: 8).
Saat perang Badar tiba, dengan perntah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam Thalhah berangkat untuk menyelidiki berita tentang kafilah Quraisy hingga ia tidak dapat ikut dalam perang tersebut. Namun Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tetap menghitung bagiannya dalam bagian harta rampasan perang dan juga dari segi pahala yang ia dapatkan. Ini sekaligus sebagai kesaksian bahwa ia termasuk ahli Badar. Banyak hadits shahih yang menyatakan tentang tinggi kedudukan mereka, di antaranya perkatan Nabi SAW kepada Umar bin Khaththab, “Barangkali Allah telah mengetahu perihal mereka yang ikut perang Badar dan berfirman, “Berbuatlah apa yang kalian kehendaki, aku telah mengampuni kalian.”
Dan dalam riwayat lain, “Berbuatlah apa yang kalian kehendaki, sungguh telah pasti bagi kalian surga.” Dalam perang Uhud Thalhah memperlihatkan kiprahnya yang mengagumkan. Dalam perang tersebut ia menoreh banyak keistimewaan dalam lembaran hidupnya yang cemerlang. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan kesaksian kepada sejarah dengan kesaksian dan pujian tertinggi bagi Thalhah, beliau menjanjikan surga untuknya, dan bahwasanya ia termasuk di antara mereka yang menepati janjinya dan memenuhi sumpahnya serta menepati apa yang telah dijanjikannya kepada Allah. Beliau memberinya sebuah jaminan tertinggi yang tidak ada lagi bandingannya. Pahlawan ini pun menjadi tenang akan terjaminnya tujuan akhirnya, dan kemuliaan tempat kembalinya nanti. Ia bahagia dengan penjagaan dan perlindungan Allah kepadanya dan keberkahan jalan yang dilalui hingga ia menemui nya di surganya kelak.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi dan yang lainnya, dari Zubair bin Awwam berkata, “Pada perang Uhud Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memakai dua lapis baju besi, lalu beliau berusaha menaiki sebuah batu besar namun beliau kesulitan. Maka Thalhah membungkukkan badannya di bawah beliau, dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menapaki badannya hingga berhasil duduk di atas batu tersebut! Zubair berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Telah wajib bagi Thalhah”. Maksudnya ia telah melakukan suatu perbuatan yang menjadikan surga wajib baginya.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Abu Ya’la, Adh-Dhiya’ dalam Al-Mukhtarah dan yang lainnya, hadits ini adalah hadits shahih karena banyak jalur periwayatannya, dari Musa dan Isa putra-putra Thalhah, dari ayah mereka Thalhah, “Para Shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, berkata kepada seorang badui yang bodoh, “Tanyakanlah kepada beliau tentang “Orang yang gugur (dalam menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, Siapakah dia?” mereka tidak berani menanyakan langsung kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam karena segan akan wibawa beliau. Maka orang badui tersebut menanyakannya kepada beliau, namun beliau memalingkan wajahnya darinya, kemudian ia kembali bertanya, dan beliau kembali memalingkan wajah beliau. Lalu aku muncul di pintu masjid dengan memakai pakaian biru. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihatku, beliau berkata, “Mana orang yang bertanya tadi tentang orang yang gugur?” badui tersebut berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Inilah orang gugur tersebut.”
Dalam sebuah riwayat dari Ummul mukminin Aisyah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang laki-laki yang berjalan di atas muka bumi, sementara ia telah gugur, maka lihatlah Thalhah.”
Thalhah sangat bahagia dengan kesaksian dan kabar gembira tersebut, maka ia berusaha untuk berbuat hal-hal yang akan membantunya dalam mencapai apa yang telah di janjikan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Ia juga memberitahu orang-orang tentang besarnya nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Musa bin Thalhah, dari ayahnya berkata, “Jika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melihatku, beliau akan berkata, “Siapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi maka hendaklah ia melihat Thalhah bin Ubaidillah.”
Dalam sebuah hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Musa bin Thalhah, ia berkata, “Aku menemui Mu’awiyah dan ia berkata, “Apakah engkau mau mendengar kabar gembira dariku?” aku menjawab, “Ya”, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Thalhah termasuk di antara mereka yang gugur (dalam menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah).”
Al-Imam Ibnu Al-Atsir berkata, “An-Nahbu: An-Nadzur (Nazar), seolah ia telah mengharuskan dirinya untuk menghadapi musuh-musuh Allah dalam peperangan. Dan dikatakan juga, An-Nahbu : Al-Mautu, seolah ia telah mengharuskan dirinya untuk berperang hingga mati.”
Hadits yang diriwayatkan melalui banyak jalur ini merujuk kepada firman Allah Ta’ala. “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya (Qs. Al-Ahzab [33]: 23).
Thalhah adalah salah satu dari mereka yang dimaksud, sesuai dengan kabar gembira yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini adalah suatu keistimewaan yang dimiliki Thalhah, dan Allah telah memberinya selamat atas kehormatan yang diberikannya.
Di antara kelebihan Thalhah lainnya yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, adalah kebaikannya, kedermawanannya, dan kemurahannya dalam memberi. Maka beliau menjulukinya dengan Thalhah Al-Khair (Thalhah yang baik), Thalhah Al-Jud (Thalhah yang pemurah), dan Thalhah Al-Fayyadh (Thalhah yang dermawan).
Suatu hari Thalhah dan sekelompok shahabat tengah berada bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di gunung Hira. Tiba-tiba gunung tersebut berguncang karena gembira akan kehadiran kumpulan yang penuh berkah tersebut, ia bergetara kegirangan. Ia memuji Allah atasnya berdiri kaki-kaki para tokoh mulia tersebut bersama dengan penghulu anak cucu Adam. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menenangkannya dan berbicara kepadanya dengan kata-kata yang lembut. Beliau menyuruhnya untuk diam dan tenang untuk menghormati para shahabat mulia yang menemani Nabi mereka. Dan tidak ada siapapun di antara mereka melainkan seorang shiddiq atau syahid.
Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan yang lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di atas gunung Hira, dan gunung itu pun bergetar. Maka beliau berkata, “Tenanglah hai Hira! Tidak ada yang berada di atasmu kecuali seorang Nabi, atau seorang shiddiq, dan seorang syahid.” Dan yang berada di atasnya adalah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Sa’ad bin Abu Waqqash Radhiyallahu Anhum.” Kami bertanya, “Lalu siapa yang kesepuluh?” dia menjawab, “Aku.”
Diriwayatkan oleh pengarang empat kitab sunan, juga Ath-Thayalisi, Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan yang lainnya dari Sa’id bin Zaid, “Gunug Hira berguncang, Maka Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam berkata, “Tenanglah hai Hira! Tidak ada yang berada di atasmu kecuali seorang Nabi, atau seorang shiddiq, dan seorang syahid.” Dan yang berada di atasnya adalah Nabi Shallallahualaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqqash, dan aku.”
Jaminan Surga Untuknya
Seluruh kelebihan dan keutamaan yang dianugerahkan Allah kepada Thalhah, dan ditambah dengan kabar gembira dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam merupakan bukti yang paling nyata bahwa ia termasuk dalam golongan syuhada (orang-orang yang akan mati syahid) dan shiddiqin (orang-orang yang berkata benar) yang merupakan penduduk surga. Allah telah menjanjikan bagi mereka kenikmatan surga yang kekal, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para Nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”(QS. An-Nisa’ [4]: 69).
Pada perang Uuhud Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi kabar gembira untuknya berupa surga, beliau berkata, “Telah wajib untuk Thalhah (surga)”.
Lalu banyak hadits-hadits lain yang semakin menguatkan dan menetapkan kabar gembira tersebut, yang menambahkan keagungan dari nikmat yang begitu besar. Kebahagiaan pun menyertai langkahnya di dunia hingga ia sampai ke akhirat kelak dimana ia akan memperoleh apa yang telah dijanjikan Allah berupa pemberian yang berlimpah. Dan kabar-kabar gembira tersebut diriwayatkan oleh banyak shahabat.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh empat penulis kita sunan, Ath-Thayalisi, Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lainnya dari Rasulullah atas apa yang telah didengar kedua telingaku, dan difahami oleh hatiku dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sungguh aku tidak akan mengatakan kebohongan jika ia bertanya kepadaku saat bertemu dengannya nani. Sungguh beliau telah bersabda, “Abu Bakar disurga, Umar di surga, Ali di Surga, Utsman di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, dan Sa’ad bin Malik di surga.” Dan orang mukmin yang kesembilan, kalau aku mau aku akan menyebutkan namanya! Maka orang-orang yang hadir di masjid menjadi rebut dan memintanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, siapakah yang kesembilan tersebut? Ia menjawab, “Kalian telah memintaku dengan nama Allah yang Maha Agung, akulah orang mukmin yang kesembilan tersebut. Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang kesepuluh.”
Dan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibnu Hibban, dan yang lainnya dari Abdurrahman bin Auf berkata, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sepuluh orang di surga, Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di Surga, Zubair di surga, Thalhah di surga, Ibnu Auf di surga, Sa’ad di surga, Sa’id bin Zaid di surga, dan Abu Ubaidah bin Al-jarrah di surga.”
Pujian Shahabat Untuknya
Para shahabat telah mengetahui dengan baik berbagai kelebihan yang dimiliki Thalhah dan banyaknya kontribusi yang telah ia persembahkan dalam membela Islam dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya. Juga besarnya harta yang ia nafkahkan untuk kaum muslimin, dan mereka telah mendengar langsung pujian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuknya, dan penghargaan beliau atas jasa-jasanya. Maka mereka pun menempatkannya di posisi terhormat yang layak untuknya. Mereka juga selalu memujinya, dan menghargainya atas semua yang telah dilakukan dan diberikannya. Bahkan oleh mereka yang tidak sependapat dengannya dalam ijtihad pada saat munculnya fitnah, dan yang terdepan adalah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu. Mereka benar-benar memujinya dan mengangkat kedudukannya, bahkan Ali Radhiyallahu Anhu adalah tokoh shahabat yang paling banyak memberikan pujian dan penghargaan kepada Thalhah.
Cukuplah ia memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Umar ketika ia menjadi salah satu orang terdekatnya, dan merupakan salah seorang dari anggota majelis syura dan menjadi tumpuan Umar dalam bermusyawarah dan bahu-membahu bersama dalam mengurus Negara dan rakyat.
Sebelum Umar Al-Faruq mati syahid, ia menunjuk Thalhah sebagai salah satu dari enam orang yang berhak dipilih menjadi khalifah setelah. Dan ia menerangkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat, beliau ridha kepada mereka berenam.
Ibnu Asakir meriwayatkan, “Pada perang Jamal, dan pasukan Ali telah membunuh banyak kaum muslimin dan berhasil memasuki Bashrah, ia di datangi seorang laki-laki arab dan membicarakan sesuatu dengannya. Ia mengatakan bahwa ia telah berhasil membunuh Thalhah, maka Ali menghardiknya dan berkata, “Sesungguhnya engkau tidak pernah menyaksikan kiprahnya para perang Uhud, dan besarnya pengorbanannya untuk Islam dengan kedudukan yang dimilikinya bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Orang tersebut menjadi malu dan terdiam. Seseorang dari mereka bertanya, “Bagaimanakah pengorbanan dan deritanya pada perang Uhud, semoga Allah merahmatinya?” Ali berkata, “Ya, semoga Allah merahmatinya, aku telah menyaksikannya, dan ia menjadikan dirinya sebagai perisai bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pedang dan tombak menyerangnya dari segala penjuru, namun ia tetap bertahan sebagai tameng bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.”
Dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu Anhuma dan dia merupakan salah seorang pendukung Ali, “Bahwasanya Ali keluar dengan membaca ayat ini, “Sungguh sejak dahulu bagi orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang baik dari kami, mereka itu akan dijauhkan (dari neraka).”(QS.. Al-Anbiya’ [21]:101). Lalu ia berkata, “Aku termasuk di antara mereka yang dimaksud dalam ayat ini, juga Abu Bakar, Umar, Utsman, Thalhah, dan Zubair.” Dan ia terus membaca ayat tersebut hingga masuknya waktu shalat.”
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Ibnu Abbas bahwasanya ia mendatangi Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Mu’awiyah menanyakan pendapatnya tentang Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Ibnu Abbas memuji mereka dengan pujian yang tinggi. Lalu Mu’awiyah berkata, “Bagaimana pendapatmu dengan Thalhah dan Zubair?” Ibnu Abbas berkata, “Rahmat Allah untuk mereka berdua, demi Allah mereka berdua adalah orang yang menjaga diri, sangat baik, muslim yang suci dan menjaga kesucian diri mereka, dua orang yang syahid, dan alim. Mereka telah berbuat kesalahan dan Allah mengampuni mereka Insya Allah dengan pembelaan mereka terhadap Islam, dan kebersamaan mereka dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, serta perbuatan baik yang telah mereka lakukan.”
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang terdiri dari orang-orang yang riwayatnya shahih , dari Amir bin Sa’ad bin Abu Waqqash berkata, “Suatu hari Sa’ad ketika sedang berjalan-jalan ia melewati seorang laki-laki yang mencaci maki Ali, Thalhah, dan Zubair. Maka Sa’ad berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau mencaci maki suatu kaum yang telah berbuat untuk Allah apa yang telah mereka perbuat. Demi Allah, engkau akan berhenti memaki mereka, atau aku akan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar mencelakakanmu.” Ia berkata. “Dia menakutiku seolah dia seorang Nabi.” Maka Sa’ad berkata, “Ya Allah kalau ia telah mencaci mereka yang telah berbuat untuk mu apa yang telah mereka perbuat, maka jadikanlah ia sebagai contoh!” Tiba-tiba datang seekor unta betina, dan orang-orang memberinya jalan, lalu unta tersebut menginjaknya! Setelah itu aku melihat orang-orang mengikuti Sa’ad dan berkata, “Allah telah mengabulkan doamu wahai Abu Ishaq.” (sumber: sahabatnabi.com)