Bagaimana Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan?

Hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa pada bulan Ramadhan setan dikerangkeng oleh Allah SWT artinya sebagai berikut, “Apabila datang bulan Ramadhan, pintu-pintu sorga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu,”([HR. Muslim).
Dalam hadis di atas, pembelengguan setan (wa shufidat as-syayaathiin) secara bahasa berarti bahwa Allah swt mengikat mereka dengan tali atau rantai seperti halnya di dunia nyata. Itu maknanya secara hakiki. Namun pemaknaan secara hakiki itu belum tentu jadi alternatif satu-satunya. Yakni benar begitu adanya. Buktinya para ulama pun pada berbeda pendapat dalam memaknadi “shufidat as-syayaathiin” tersebut.
Ada yang memaknainya secara hakiki: setan itu memang hakikatnya dibelenggu selama Ramadhan, tidak bisa menggoda manusia lagi. Dan ada pulan yang menggunakan makna majaz : bukannya setan terbelenggu sepenuhnya secara hakiki, dia masih bebas berkeliaran, cuma tidak mempunyai kesempatan luas untuk menggoda manusia, pintu-pintu rahmat dan ampunan dibuka Allah seluas-luasnya.
Dan memang benar banyak sekali amal kebajikan yang dilakukan oleh umat Islam pada bulan Ramadhan. Bersedekah, menyantuni anak yatim, memberi bebuka pada orang yang berpuasa, salat tarawih, salat tahajud, kegiatan dzikir pun meningkat pesat. Sesuai dengan firman Allah “Sesungguhnya hambaku tidak ada kekuasaan bagimu (iblis) atas mereka, kecuali orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang sesat,” [QS. Al-Hijr:43].
Dan pada ayat lain : “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah SWT, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya,” [QS. Al-A’raf:201].
Pekerjaan-pekerjaan inilah yang sebenarnya bisa juga dianggap membelenggu setan sehingga tidak banyak kesempatan baginya menggoda orang-orang yang berpuasa. Hal mana sangat berbeda jauh dibanding dengan bulan-bulan selain Ramadhan. Itulah makna majaznya.
Memang, bisa jadi masih kemaksiatan masih ada, namun sangat berkurang drastis.Menentukan waktu shalat di kutub yang perbedaan waktunya tidak bisa diketahui dari peredaran matahari karena pergantian malam dan siang terjadi setahun sekali (tiap 6 bulan) dengan cara menyesuaikan dengan daerah lain dimana waktu-waktu shalatnya teratur.
Dalam hal ini kita bisa mengambil patokan daerah mana saja selain kutub yang peredaran waktunya ‘normal’ selama 24 jam, yaitu daerah-daerah di katulistiwa. Kalau ada ulama yang lebih mengutamakan Mekkah dijadikan patokan, itu tentu, di samping, karena waktunya yang teratur (masuk daerah katulistiwa), juga lebih mendekati praktek keseharian Nabi saw.
Yang mendasari ketentuan seperti ini adalah jawaban Nabi menanggapi pertanyaan seorang sahabat tentang kewajiban salat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu (di Mekkah) atau sebulan atau bahkan setahun. “Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali salat saja?” Rasul menjawab “Tidak. Tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa),” [HR. Muslim].
Permasalahan adanya surga dan neraka merupakan permasalahan ghaibiyaat (di luar jangkawan akal) yang mau tidak mau kita harus mengimaninya. Dalam hal ini banyak sekali ayat atau hadis menerangkan tentang adanya surga sekaligus bagaimana keadaannya (silahkan baca surah as-Shaffaat:41-49, Yasin: 55-58, Shaad: 49-54, az-Zukhruf: 70-73, ad-Dukhan: 51-57, dan masih banyak lagi).
Adapun pendekatan secara logika untuk mengetahui eksistensi surga dan neraka di akhirat kelak, para ulama mengaitkannya dengan keadilan Tuhan terhadap hambanya. Dalam arti bahwa jika pembalasan di akhirat (surga dan neraka) itu tidak ada, maka konklusi logisnya Tuhan itu tidak adil, karena membebaskan orang-orang yang berbuat maksiat dan ingkar terhadap perintah-Nya tanpa ada balasan sedikitpun, sedangkan orang mukmin yang terus berjuang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, tidak mendapatkan sesuatu.
Maka dari itu sudah menjadi keharusan dan wewenang bagi-Nya untuk membalas dan menghukumi semua perbuatan menusia di dunia, baik dan buruknya. Di sinilah letak keadilan Tuhan, yaitu menyediakan surga bagi orang-orang yang taat dan neraka bagi orang-orang yang ingkar.
Di samping itu, dalam banyak ayat kita selalu menemukan perintah-perintah Allah swt selalu dibarengi dengan janji-janji bagi yang mematuhinya dan ancaman bagi yang ingkar, hal tersebut secara implisit mengisyaratkan bahwa Allah swt menjadikan dua hal tersebut sebagai cita-cita akhir dari segala perbuatan manusia.
Adapun setelah itu mau ke mana. Wallahu a’lam, itu sudah di luar jangkauan akal. Dan tak perlu kita mengkoreknya. Yang penting bagi kita adalah bertakwa kepada-Nya. (sumber: islampos/pesantrenvirtual/7/7/2014)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>