Jerome Clare: Malcolm X Membawaku pada Islam

Ia terlahir dengan nama Jerome Clare. Ia dibesarkan sebagai seorang Katolik di Nova Scotia, sebuah wilayah di pantai timur Kanada. Banyak orang mungkin berpendapat Clare kurang beruntung karena dilahirkan dalam keadaan buta total. Namun sebalik nya, ia mengaku sangat beruntung ka rena tak pernah merasa menjadi se seorang dengan kekurangan.

“Kebutaan adalah bagian dari diriku, seperti se seorang dengan rambut pirangnya,” ujarnya. “Itu berkat ibuku. Ia tak pernah memperlakukanku sebagai anak yang berbeda dan membuatku tumbuh seperti anakanak lainnya,” sambungnya. Hal itu menjadikan Clare sosok yang tidak membiarkan keterbatasan fisik menghalanginya melakukan hal yang ia inginkan.

Saat berusia sembilan tahun, ia bergabung ke sebuah sekolah gulat profesional dan menjadi orang buta pertama yang diterima di sana. “Aku sangat tertarik dengan olahraga itu sejak aku berusia empat tahun.’’

Dari sanalah perjalanan membawa Clare bertemu Islam. Satu hari, ia tertarik dengan kata-kata dalam sebuah lagu yang ia dengarkan bersama temanteman gulatnya. Kata-kata itu berbunyi “By any means necessary” yang dalam bahasa Indonesia berarti “dengan cara apa pun yang diperlukan.”

Clare bertanya-tanya mengenai siapa orang yang mencetuskan kata-kata itu. “Kutanyakan pada beberapa teman, mereka tidak tahu. Hingga salah seorang memberitahuku bahwa itu adalah katakata Malcolm X dalam sebuah pidato di tahun 1965,” katanya.

Malcolm X (1925 – 1965) adalah seorang Muslim Amerika-Afrika yang menjadi aktivis hak asasi manusia. Clare menjadi tertarik dengan sosoknya setelah mendengar namanya. “Nama belakangnya unik, atau bahkan aneh. Hanya satu huruf saja, X,” kata Clare.

Ia lalu membaca sebuah buku karya Alex Halley, yang berbicara tentang kaum buruh yang diculik dari Afrika dan keislaman mereka. Dari buku itu, Clare mengetahui kaum Afrika dan juga Malcolm X, memeluk agama bernama Islam.

Selesai membaca buku itu, Clare membaca sebuah buku lain yang mendekatkannya dengan sosok Malcolm X. “Aku sangat tertarik dan mengagumi sosok serta kepribadian Malcolm X. Dan itu membuatku ingin menjadi sepertinya, yakni menjadi seorang Muslim.”

Hanya saja, Clare merasa perlu memahami berbagai hal tentang Islam jika ingin memeluk agama tersebut. Baginya saat itu, terbentang sebuah jarak antara dia dan Islam. “Aku membutuhkan sebuah jembatan untuk bisa sampai ke sana,” ujarnya.

Hingga akhirnya, di tahun 1996, Clare melamar pekerjaan di sebuah ajang perkemahan komputer, tempat ia bertugas menyiapkan roti untuk para peserta. Di sana, ia bertemu seorang perempuan Muslim. “Aku sangat senang, dan segera memburunya dengan banyak pertanyaan tentang Islam.”

Beberapa hari setelahnya, Muslimah itu datang dengan membawa buku-buku keislaman, di antaranya tentang rukun Islam. “Aku adalah orang yang memegang prinsip ‘melakukan apa yang benar.’ Dalam olahraga gulat, misalnya, jika aku harus melakukan push up sebanyak 30 kali, akan kulakukan.”

Prinsip Clare berlaku pula dalam hal keyakinannya pada Islam. Begitu ia merasa yakin bahwa pengetahuan tentang ajaran Islam yang baru diterimanya ada lah benar dan akurat, ia pun bersyahadat.

“Aku sangat lega dan senang, serta sangat berterima kasih kepada Malcolm X. Aku juga bersyukur karena dakwahnya dapat sampai padaku meski ia telah meninggal.”

Dari sejumlah Muslim yang dikenalnya, Clare belajar sungguh-sungguh tentang cara berwudhu, shalat, dan berpuasa Ramadhan. Suatu hari di tahun 1997, jalan terbentang di hadapannya untuk mempelajari Alquran. Saat itu, seseorang menghubunginya dan memberi tahunya bahwa di Arab Saudi terdapat Alquran dengan huruf braille. Ia ingin mengirimkannya untuk Clare.

Beberapa hari kemudian, Alquran istimewa itu sampai di tangannya. Clare yang begitu semangat membukanya segera terkejut setelah mengetahui bahwa ia sama sekali tak bisa membaca isinya. “Ia (Alquran) berbahasa Arab, dan braille untuk aksara ini sama sekali berbeda dengan braille dalam bahasa Inggris.”

Clare tak menyerah. Dihubunginya seorang teman Muslimnya di Arab Saudi, dan dimintanya untuk mengajari membaca braille Arab itu. Sang teman kemudian memintanya membuka surah al- Fatihah.

“Tidak sulit menemukannya, karena aku bisa menelusurinya dari letaknya di daftar isi, yang berisi angka dengan format angka braille yang kupahami,” tuturnya.

Pelajaran Alquran pun dimulai. Melalui komunikasi jarak jauh, Clare yang telah berganti nama menjadi Abu Hafsa Abdul Malik Clare menyimak bacaan temannya. Sang teman juga menguraikan setiap huruf dan harakat dari apa yang dibacanya. “Aku menyimaknya, huruf per huruf,” kata Clare.

Setelah mulai mengenali aksara dan pelafalannya dalam ejaan Arab, Clare mulai mencatatnya, lalu menghafalnya. Dari situ, secara perlahan, ia mampu membaca Alquran dengan huruf braille. “Setelah itu, Alhamdulillah, aku meneruskannya dengan mempelajari tajwid karena sangat tidak mudah mengucapkan kata-kata Arab dengan lidah Inggris.”

Upayanya tak sia-sia. Kini Clare tak hanya berhasil membaca Alquran, tapi juga berhasil melafazkannya dengan makhraj yang baik dan kerap menuai pujian.

Selain mahir membaca Alquran, pria yang telah meninggalkan dunia gulat itu kini aktif berdakwah dan membagi perjalanan Islamnya melalui berbagai forum dan workshopIslam di berbagai belahan dunia. (sumber: ROL)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>