Tetangga “Mendholimi” Kami, Bagaimana Menyikapinya?

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Ustadz, saya mohon petunjuknya. Tetangga saya ingin mendholimi  kami, Pak Ustadz. Bukannya saya su’udzon, tapi karena tetangga saya rumahnya di depan rumah saya dan jaraknya cuma 8 meter. Alhamdulillah, atas izin Allah, saya selalu dengar niat jahat dia. Sudah hampir sebulan ini, kemana pun saya pergi selalu diikuti. Astaghfirullah…

Intinya, dia ingin menghancurkan usaha saya. Setiap saya keluar rumah, dia mengikuti terus. Di tempat kerjaan dipantau dari sebelah tempat usaha sambil membincangkan kejelakan saya sambil agak keras pula ngomongnya. Entah disengaja atau bagaimana, yang jelas dia ingin menghancurkan saya. Saya tahu kalau saya diikuti. Kalau saya balik arah nanti jadi maksiat, astaghfirullah. Salah dan dosa apa saya, ya Allah hingga ada orang yang ingin mendholimi kami.

Apa yang harus saya lakukan, Pak Ustadz? Apa saya lawan dengan kekerasan, atau saya harus sabar? Saya yakin Allah tidak tidur dan Allah yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu di bumi.

Saya sering shalat tahajjud, pasrah kepada Allah atas masalah ini. Saya yakin Allah pasti akan menolong orang yang didholimi. Tapi kedua telinga saya panas dengar caci-maki dan gunjingan dia terus-menerus, Pak Ustadz. Apalagi rumahnya di depan saya. Tiap hari, tiap saat selalu saja berniat jahat dan menggunjing saya. Tapi saya coba bersabar karena saya punya anak istri dan menanggung orang tua.

Mohon petunjuk dan bimbinganya, Pak Ustadz.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Ali

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Saudara Ali yang dirahmati Allah SWT, insya Allah. Kami turut prihatin dengan masalah yang menimpa dan dihadapi Anda. Sebagai makhluk sosial manusia memang mesti hidup bersama-sama dengan orang lain. Soal kemudian timbul masalah, itu merupakan pernak-pernik dan dinamika hidup.

Di zaman Nabi Muhammad SAW pun beliau mengalami banyak fitnah atas ajakannya menyerukan orang lain untuk menyembah hanya kepada Allah SWT dan taat menjalankan perintah-Nya. Permusuhan orang-orang kafir (yang menolak ajakan Islam) sangat kentara karena jumlah mereka, pada masa awal dakwah Rasul, lebih dominan ketimbang yang berhasil diajak Rasulullah untuk kembali ke Islam.

Yang kami tangkap dari “curhatan” Saudara Ali adalah soal tetangganya yang menurut penilaian Anda, ingin menghancurkan usaha Anda. Namanya juga tetangga, jika saling curiga, apalagi sampai menyakiti, memang membuat hidup bertetangga tersebut jadi tak harmonis. Akhirnya terjadi ketidaknyamanan bagi satu pihak, maupun kedua belak pihak yang berselisih.

Dari apa yang Saudara paparkan di atas kami masih menyisakan pertanyaan, seperti: sejak kapan Anda tinggal dan bertetangga dengan orang yang Anda anggap memusuhi Anda itu? Lebih duluan mana, Anda atau dia?

Apakah “teror” yang dilakukan oleh tetangga Anda itu bukan hanya teror mental, tapi juga fisik? Jika sudah teror fisik, dengan bukti kuat, Anda sebenarnya bisa melaporkannya ke pihak berwajib karena itu ada payung hukumnya. Jika tidak sampai ke teror fisik, sebaiknya Anda tidak gegabah melakukan tindakan yang bersifat fisik kepada tetangga Anda itu.

Apakah teror yang dilakukan tetangga Anda itu hanya terkait masalah usaha (bisnis) Anda semata? Jika demikian coba Anda renungkan, kenapa dia melakukan demikian. Kalau saja dia lebih dulu memiliki atau menjalankan usaha yang sama dengan Anda yang belakangan mengikuti dia, maka keputusan Anda memilih usaha yang sama dengan dia tidaklah tepat. Mestinya Anda menjalankan usaha yang berbeda. Ini berdasarkan pengamatan kami di lingkungan tempat tinggal.

Jika masalahnya bukan sekedar karena usaha, Anda sendiri sebaiknya dapat menganalisa masalahnya. Introspeksi diri juga penting karena kadang-kadang kita sebagai manusia memiliki sikap egois yang berlebihan.

Selanjutnya kami akan coba menguraikan beberapa prinsip dalam bertetangga menurut Islam. Hak dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan mulia. Sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi keimanan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)

Bahkan besar dan pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah ditekankan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris” (HR. Bukhari 6014, Muslim 2625)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Bukan berarti dalam hadits ini Jibril mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga karena Jibril tidak memiliki hak dalam hal ini. Namun maknanya adalah beliau sampai mengira bahwa akan turun wahyu yang mensyariatkan tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan betapa ditekankannya wasiat Jibril tersebut kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/177)

Anjuran Berbuat Baik Kepada Tetangga

Karena demikian penting dan besarnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim, Islam pun memerintahkan ummatnya untuk berbuat baik terhadap tetangga. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Tetangga yang lebih dekat tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak memberikan gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan” (Tafsir As Sa’di, 1/177)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِـجَارِهِ

Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya” (HR. At Tirmidzi 1944, Abu Daud 9/156, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 103)

Maka jelas sekali bahwa berbuat baik terhadap tetangga adalah akhlak yang sangat mulia dan sangat ditekankan penerapannya, karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ancaman Atas Sikap Buruk Kepada Tetangga

Disamping anjuran, syariat Islam juga mengabakarkan kepada kita ancaman terhadap orang yang enggan dan lalai dalam berbuat baik terhadap tetangga. Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menafikan keimanan dari orang yang lisannya kerap menyakiti tetangga. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabdaL

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)‘” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46)

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: “Bawa’iq maksudnya culas, khianat, zhalim dan jahat. Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah”. Beliau juga berkata: ”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/178)

Bahkan mengganggu tetangga termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka. Ada seorang sahabat berkata:

يا رسول الله! إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في النار

Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka’” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak 7385, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad 88)

Sebagaimana Imam Adz Dzahabi memasukan poin ‘mengganggu tetangga’ dalam kitabnya Al Kaba’ir (dosa-dosa besar). Al Mula Ali Al Qari menjelaskan mengapa wanita tersebut dikatakan masuk neraka: “Disebabkan ia mengamalkan amalan sunnah yang boleh ditinggalkan, namun ia malah memberikan gangguan yang hukumnya haram dalam Islam” (Mirqatul Mafatih, 8/3126).

Bentuk-Bentuk Perbuatan Baik Kepada Tetangga

Semua bentuk akhlak yang baik adalah sikap yang selayaknya diberikan kepada tetangga kita. Diantaranya adalah bersedekah kepada tetangga jika memang membutuhkan. Bahkan anjuran bersedekah kepada tetangga ini sangat ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ

Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 18108, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 149)

Beliau juga bersabda:

إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ

Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik” (HR. Muslim 4766)

Dan juga segala bentuk akhlak yang baik lainnya, seperti memberi salam, menjenguknya ketika sakit, membantu kesulitannya, berkata lemah-lembut, bermuka cerah di depannya, menasehatinya dalam kebenaran, dan sebagainya. (sebagian jawaban dikutip dari muslim.or.id)

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>