Saya Ingin Jadi Muallaf, Tapi…

Saya seorang wanita Katolik. Dari lahir dan dewasa saya sangat nyaman menjadi seorang Katolik. Bahkan saya berjanji, sampai matipun saya akan beriman katolik. Namun saya selalu menjalin hubungan dengan pria Muslim, tapi tidak pernah terbersit untuk muallaf; kalaupun menikah, masing-masing (menganut) agamanya.
Sampai saya akhirnya menjalin hubungan dengan sahabat SMA. Awalnya sama seperti seblumnya, saya tidak mau menjadi muallaf dan tidak pernah ada yang saling mengajak untuk masuk ke agama siapa.
Kalau dia lagi di kost saya, saya sediakan selendang sebagai sajadah untuk sholat. Kalau minggu dia yang antar-jemput saya ke gereja. Singkat cerita, dia kerja di luar kota, dan suatu sore tiba-tiba saya terpikir untk ‘ikut’ agamanya, menjadi muslim.
Pada awalnya memang saya ingin menjadi muslim karena dia. Tapi kemudian selama 2 tahun belakangan saya mempelajari Islam, bahkan saya belajar sholat, saya membaca al-Quran terjemahan, saya niat untuk menjadi seorang muallaf. Tapi, keluarga saya tidak ada yang bisa menerima.
Singkatnya, akhirnya bapak saya memutuskan, “Kalau memang kalian mau nikah, nikah secara Katolik, setelah itu terserah, kamu boleh masuk Islam, dan menikah secara Islam”.
Saya rasa itu jalan tengahnya. Tapi, pacar saya tidak mau, katanya mempermainkan agama. Sekarang saya sangat bingung. Apa yang harus saya lakukan? Saya beranggapan pacar saya sangat egois, saya pikir mengalahlah sedikit untuk orangtua saya (karena sejak orang tua tahu saya mau nikah sama dia dan masuk Islam, ibu saya terkena jantung ringan dan bapak saya gejala stroke).
Apakah cara yang diinginkan bapak saya salah? Demi kebahagiannya, dan demi kerelaannya merestui saya ke depannya. Saya sangat sangat menyayangi orang tua saya, tapi juga saya yakin dengan pilihan saya. Apakah pacar saya terlalu egois? Tolong bantu saya. Terima kasih.

(Miami D.)

Saudari Miami, kami dapat memahami perasaan yang Anda alami sekarang. Tentu sudah menguras emosi dan psikologis Anda. Hidup kita memang tak lepas dari ujian, karena sejatinya hidup itu sendiri banyak ujiannya sebagai cara Allah SWT, sang Khalik/Pencipta untuk menyaring hamba-hamba-Nya, mana yang sanggup melewatinya dan mana yang gagal melaluinya.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat pahala kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat (siksa) dari kejahatan yang dilakukannya…( Al-Quran Surah Al-Baqarah: 286)
Allah SWT telah menyatakan dengan jelas di dalam Al-Quran bahwa Dia tidak akan sekali-kali menguji hambaNya di luar kemampuan hamba-Nya. Allah SWT mengetahui kita kuat dalam menghadapi ujian-Nya. Oleh karena itu Allah SWT memberikan ujian itu kepada kita dengan cara yang berbeda-beda.
Allah SWT menguji seseorang bukan karena Dia benci kepada kita, tetapi yakinlah bahwa Dia menguji kita karena sangat sayangnya kepada kita. Hanya saja kita sebagai hamba-Nya, adakala tidak mampu bertahan dan bersabar dalam menghadapi ujian tersebut.
Seorang muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat “Asyhadu anlaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadarrasuulullaah” memang dilarang keluar dari Islam. Jika keluar (murtad) maka dia mendapat murka Allah SWT dan Rasul-Nya dan diancam dengan siksa.

Meskipun seperti keinginan orang tua Anda yang mengharapkan pernikahan kalian dengan cara Katolik, lalu setelah itu boleh menikah dengan cara Islam dan Anda juga dipersilakan masuk Islam, ajaran Islam tidak membolehkannya. Sebab itu tadi, hal ini menyangkut masalah akidah (keyakinan) yang menandai seorang itu beriman kepada Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Jika calon pasangan Anda itu ‘murtad sementara’ itu artinya membuat Allah SWT yang sudah dia ikrarkan sebagai “Tiada Tuhan selain Allah SWT, dan Muhammad adalah utusan Allah SWT” akan gugur.
Bayangkan, jika calon pasangan Anda itu, dalam pernikahannya harus murtad barang sesaat, lalu—kita tak tahu rahasia Allah SWT—dia tiba-tiba dicabut nyawanya dengan kondisi yang tak bisa kita tebak, menurut akidah/keyakinan orang beriman kematian dalam kondisi murtad itu membuat dia tidak diterima amal kebajikannya yang telah berlalu (meski telah beriman sebelumnya). Dia harus bertanggung jawab atas keputusannya keluar dari Islam dan harus menghuni di neraka selamanya (abadi). Naudzubillahi min dzalik (kita berlindung dari hal demikian). Keyakinan inilah yang kami duga menjadi alasan dia tak mau menikah dengan cara Katolik, meski barang sesaat.
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (Al-Quran Surah Al-Baqarah: 217).
Hidup memang pilihan, Tuhan juga mempersilakan manusia untuk memilih jalan (sabil), tapi ingat pilihan itu juga akan berkonsekuensi dengan pertanggung jawabannya di akhirat (alam yang kekal abadi) kelak; mengikuti Jalan-Nya (Allah SWT) dibalas dengan surga, dan mengikuti jalan-jalan yang lain bakal menjadi penghuni neraka.
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”. (Al-Quran Surah An-Nahl: 93)
Ayat tersebut memaparkan sebuah landasan dan kaidah umum yang menyangkut hubungan Allah SWT dengan manusia lewat firman-Nya, Allah SWT tidak berkehendak memaksa manusia untuk beriman kepadanya, tapi Allah SWT menginginkan manusia memilih akidah dan ajaran atas kehendak dan pilihan mereka sendiri. Tapi karena manusia tidak memilih agama dan akidah yang satu, mereka memiliki beragam agama dan kepercayaan. Meski demikian, Allah SWT telah memberikan sarana yang dapat menjadi petunjuk bagi manusia, yaitu petunjuk fitrah dan akal yang berasal dari dalam diri manusia dan para nabi dan kitab suci. Manusia dapat memilah antara kebenaran dan kebatilan lewat sarana tersebut.
Soal hubungan kekeluargaan, seperti hubungan anak dengan orang tua, dalam Islam memang tak bisa dinafikan. Dalam sejarah hidup Nabi Muhammad, ada seorang pemuda, Adi bin Hatim, yang berasal dari keluarga kaya raya dan terpandang di masyarakatnya.
Dia sebelumnya penganut Nasrani yang taat. Namun, tertarik dengan kabar Islam dan sosok Nabi Muhammad yang penuh pesona. Singkatnya, setelah membuktikan bahwa sosok Nabi Muhammad sesuai dengan ajarannya serta kebenaran Islam, akhirnya dia mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Di sisi lain orang tuanya tak merestuinya hingga ibunya melakukan aksi mogok makan selama berhari-hari, dimaksudkan agar buah hatinya itu kembali ke agama yang dianutnya. Adi bin Hatim tak bergeming dan tetap menganut Islam, sementara di sisi lain dia tak menyakiti kedua orang tuanya (secara fisik).
Demikian penjelasan singkat dari kami, semoga Anda bisa memahami masalahnya dan menyelesaikannya dengan baik. Allahu a’lam.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>