Isteri Selingkuh, Saya Menikahi Non-Muslim, Bagaimana Hukumnya?

Saya pernah menjalani pernikahan dengan seorang perempuan Islam selama lebih 20 tahun. Tapi, bahtera rumah tangga kami kandas. Isteri saya selingkuh dan minta cerai.
Selama kurang lebih 2 tahun dalam kegalauan dan pikiran yang mungkin sudah hampir gila sejak perceraian itu, saya bertemu dengan wanita non-muslim (Kristen) dan memutuskan menikah. Pernikahan ini sudah berjalan selama dua tahun.
Saat ini hubungan kami baik-baik saja dan saling memahami. Saya dengan sabar dan sedikit demi sedikit, pelan-pelan memberikan contoh kehidupan Muslim, tentang agama Islam.

Saya menunggu waktu yang tepat untuk mengajak isteri memeluk jalan (Islam) tanpa paksaan. Dan saya selalu berdoa mohon isteri mendapatkan Hidayah.
Bagaimana dengan kondisi saya yang sudah telanjur menikah? Terus terang dengan perantaraan isteri saya sekarang, saya menjadi hidup dan bersemangat lagi. Saya tidak mungkin meninggalkan isteri saya yang sudah menyembuhkan dan menemukan kembali kehidupan yang normal. Apalagi saat ini isteri sedang hamil 8 bulan. Sebaiknya langkah apa yang harus saya lakukan sekarang? Terima kasih.

Bagus
kus_***@yahoo.co.id

Pertama-tama kami bersyukur bahwa Saudara masih bertahan dengan keimanan kepada Allah dan Rasulullah SAW, meskipun diberi cobaan (fitnah) dengan masalah keluarga yang sangat serius.
Kami dapat memahami perasaan jiwa Saudara yang terguncang ketika bahtera keluarga yang telah dijalani selama 20-an tahun kandas dikarenakan faktor isteri Saudara yang (berdasarkan kesaksian Saudara) dia telah berselingkuh (berzina), yang dalam Islam termasuk kategori dosa besar dengan hukuman yang berat (rajam).
Meski kemudian dalam kondisi galau Saudara berjumpa dengan seorang perempuan non-muslim (Kristen), yang kemudian menjadi isteri Saudara.
Sebenarnya, di zaman hidupnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, baik Rasulullah maupun satu dua sahabat beliau, seperti Utsman bin Affan, yang menikahi selain muslimah juga ada isterinya yang dari Ahlul Kitab (Yahudi atau Nasrani).
Namun, baik isteri Rasulullah SAW yang keturunan Yahudi, Shofiyah binti Huyay, maupun isteri sahabat Utsman, yakni Na’ilah binti al-Faraafishah al-Kalbiyah, dinikahi setelah mereka masuk Islam.
Ada juga sahabat Nabi Muhammad SAW, yakni Hudzaifah yang menikah dengan wanita Yahudi penduduk Mada’in. Jabir ketika ditanya tentang (hukum) pernikahan antara seorang Muslim dengan Yahudi dan Nasrani, maka ia berkata, “Kami mengawini mereka ketika kami mengadakan peperangan di Kuffah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash, dan (ketika itu) kami hampir tidak mendapatkan wanita-wanita muslimah. Ketika kami akan mengadakan perjalanan (pulang) dari Irak, kami menceraikan mereka. Dihalalkan wanita-wanita mereka bagi kita, akan tetapi tidak dihalalkan wanita-wanita kita (muslimah) bagi (laki-laki) mereka.”
Pernikahan beda agama
A.Laki-Laki Muslim Menikahi Wanita Ahli Kitab
Allah Ta’ala berfirman:

(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu. (QS. Al Maidah (5): 5)
Ayat ini menunjukkan kebolehan bagi laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab yang menjaga kehormatan dirinya, bukan sembarang wanita Ahli Kitab. Pembolehan ini adalah pendapat mayoritas ulama, hanya saja telah terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ‘jenis’ wanita Ahli Kitab yang boleh dinikahi. Wanita Ahli Kitab yang seperti apa?
Imam Ibnu Katsir (ahli tafsir) Rahimahullah menjelaskan:
Kemudian, para ahli tafir dan ulama berbeda pendapat tentang firmanNya Ta’ala: (wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu) apakah berlaku umum untuk semua wanita Ahli Kitab yang menjaga dirinya, sama saja baik itu yang merdeka atau yang budak? Ibnu Jarir menceritakan dari segolongan ulama salaf ada yang menafsirkan Al Muhshanah adalah wanita yang menjaga kehormatannya (Al ‘Afiifah). Dikatakan pula: maksud dengan Ahli Kitab di sini adalah wanita-wanita Israel (Al Israiliyat), dan ini pendapat Asy Syafi’i. Ada juga yang mengatakan: dzimmiyat (wanita kafir dzimmi), bukan harbiyat (wanita kafir harbi), karena Allah Ta’ala berfirman: (Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyahdengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk). (QS. At Taubah (9): 29). (Lihat Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/42)
Sebaiknya, wanita Ahli Kitab yang dinikahi adalah wanita yang paling mudah untuk didakwahi dan besar peluangnya untuk diarahkan kepada Islam, baik dia wanita Yahudi, Nasrani, Harbiyat, dan Dzimmiyat, sebagai aplikasi dari ayat quu anfusakum wa ahlikum naara. Jika, peluang ini kecil bahkan tidak ada, maka menikahi wanita muslimah adalah jauh lebih baik dari menikahi mereka. Bahkan menikahi wanita Ahli Kitab dapat menjadi terlarang jika kaum laki-laki muslimnya termasuk yang minim pemahaman agama dan lemah aqidahnya, sehingga justru memungkinkan dirinya yang mengikuti agama isterinya.
Pembolehan menikahi wanita Ahli Kitab, juga menjadi umumnya pendapat sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan mereka pun melakukannya.
Berikut ini keterangannya:
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: ketika ayat ini turun (Janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman), maka manusia menahan dirinya dari mereka, hingga turun ayat setelahnya: (dihalalkan menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu) maka manusia menikahi wanita-wanita Ahli Kitab.
Segolongan sahabat Nabi telah menikahi wanita-wanita Nasrani, dan mereka memandang hal itu tidak masalah. Hal itu berdasarkan ayat yang mulia: (wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu) mereka menjadikan ayat ini sebagai pengkhususan terhadap ayat di Al Baqarah: (janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman). (Ibid)
Namun, sebagian sahabat nabi –seperti Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma- ada yang mengharamkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Nasrani, karena menurut mereka Nasrani juga musyrik, sedangkan wanita musyrik dilarang untuk dinikahi.

Disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, tentang status musyriknya Nasrani menurut Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:
Abdullah bin Umar memandang tidak boleh menikahi wanita Nasrani, dia mengatakan: “Saya tidak ketahui kesyirikan yang lebih besar dibanding perkataan: sesungguhnya Tuhan itu adalah ‘Isa, dan Allah Ta’ala telah berfirman: (Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai dia beriman). (QS. Al Baqarah (2); 122).
Hikmah pembolehan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab adalah karena umumnya kaum laki-laki-lah yang mengendalikan rumah tangga dan bisa mengajak isterinya kepada agama tauhid. Wallahu A’lam
Ada pun dengan wanita-wanita musyrik, laki-laki muslim tetap dilarang menikahi mereka. Dalilnya adalah:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walau pun dia menarik hati mu. (QS. Al Baqarah (2): 221)
Jadi, pembolehan hanya berlaku dengan wanita Ahli Kitab, tidak berlaku untuk wanita musyrik, kecuali jika wanita musyrik itu menjadi beriman. Inilah penghormatan Islam kepada Ahli Kitab di dunia. Di dunia, Al Quran menyebut mereka ahli kitab, walau status mereka menurut Al Quran juga kafir sebagaimana kaum musyrikin. Ada pun di akhirat, menurut Al Quran, mereka sama saja, satu cluster; neraka.
B.Wanita Muslimah menikahi laki-laki Ahli Kitab
Sekarang sebaliknya, seorang wanita muslimah menikahi laki-laki Yahudi atau Nasrani. Kasus ini memiliki nilai lain dengan di atas. Islam telah melarang hal ini terjadi, namun tidak sedikit wanita muslimah yang melanggarnya. Larangan ini berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan ijma’.
Allah Ta’ala berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka ; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagimereka.(QS. Al Mumtahanah (60): 10)
Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah tentang ayat (maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Merekatiada halal bagi orang-orang kafiritudan orang-orang kafiritutiada halal pula bagimereka):
Yaitu Allah tidak menghalalkan wanita beriman untuk orang kafir, dan tidak boleh laki-laki beriman menikahi wanita musyrik. (Imam Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam, 18/63. Tahqiq: Hisyam Samir Al Bukhari. Dar ‘Alim Al Kutub, Riyadh)
Dalam As Sunnah, adalah Zainab puteri Rasulullah menikahi Abu Al ‘Ash yang masih kafir. Saat itu belum turun ayat larangan pernikahan yang seperti ini. Ketika turun ayat larangannya, maka meninggalkannya selama enam tahun hingga akhirnya Abu Al ‘Ash masuk Islam. Akhirnya nabi mengulangi pernikahan mereka dengan akad yang baru.
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan puterinya, Zainab, kepada Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ setelah enam tahun lamanya, dengan pernikahan awal. (HR. At Tirmidzi No. 1143, katanya: “isnadnya tidak apa-apa.” Ibnu Majah No. 2009, Abu Daud No. 2240, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2811, 6693, Ahmad No. 1876)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan: “Dishahihkan oleh Imam Ahmad.” (Lihat Tahdzibus Sunan, 1/357). Imam Al Hakim menshahihkannya, katanya sesuai syarat Imam Muslim. (Al Mustadrak No. 6693). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 1876). Syaikh Al Albani menshahihkannya. (Irwa’ Al Ghalil No. 1961)
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan bahwa larangan tersebut adalah ijma’, katanya: “Dan, telah menjadi ijma’ (konsensus) yang kuat atas haramnya wanita muslimah menikahi orang-orang kafir”. (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 15/203. Mawqi’ Al Islam)
Disamping larangan menurut tiga sumber hukum Islam (Al Quran, As Sunah, dan Ijma’), hal ini juga terlarang karena biasanya isteri mengikuti suami. Jika suami kafir, maka besar kemungkinan ia akan mengendalikan anak isterinya untuk mengikuti agamanya. Sekalipun itu tidak terjadi, hal ini tetap terlarang menurut Al Quran, As Sunnah dan Ijma’.
Syaikh Wahbah Az Zuhailli Hafizhahullah menjelaskan:
Dikarenakan pada pernikahan ini, dikhawatirkan terjatuhnya wanita muslimah dalam kekafiran, karena biasanya suami akan mengajaknya kepada agamanya, dan para isteri biasanya mengikuti para suami, dan mengekor agama mereka, ini tekah diisyaratkan pada akhir ayat: (mereka itu mengajak kepada neraka) (QS. Al Baqarah (2): 122), yaitu mereka mengajak wanita-wanita beriman kepada kekafiran, dan ajakan kepada kekafiran merupakan ajakan kepada neraka, karena kekafiran mesti masuk ke neraka, maka menikahnya laki-laki kafir dengan muslimah merupakan sebab kepada keharaman, maka itu adalah haram dan batil. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 9/144)
Dalam Majalah Majma’ Al Fiqh Al Islami (Majalah Lembaga Fiqih Islam) disebutkan sebuah jawaban dari masalah ini:
Tidak boleh muslimah menikahi non muslim, apa pun keadaanya, karena itu menjadi sebab perubahan bagi muslimah karena dia lemah. Dalilnya adalah firmanNya: (Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelummerekaberiman. Sesungguhnyabudak yang mukminlebihbaikdari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu), dan ayat (Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka).(Majalah Majma’Al Fiqh Al Islami, 3/1067. Syamilah)
Jika pernikahan itu terjadi juga, maka mereka terus menerus dalam perzinahan. Ada pun pihak-pihak yang membantu terjadinya pernikahan tersebut, baik penghulu, saksi, dan wali, dan orang-orang yang merestui mereka, ikut bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran ini. Allahul Musta’an!
Dari penjelasan yang cukup panjang dan jelas ini, kami berharap Saudara sesegera mungkin menunjukkan jalan Islam kepada isteri, sehingga kebahagiaan Saudara akan bertambah jika isteri yang Saudara nikahi ini menjadi orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan beriman kepada apa yang Dia perintahkan. Wallahu A’lam (dari berbagai sumber).


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>