Pengamat: Standar Ganda Eropa Protes Ayasofya Jadi Masjid, Padahal Banyak Masjid di Spanyol Diubah Jadi Katedral

Pengamat Sejarah dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Dr Tiar Anwar Bachtiar mengkritik sikap standar ganda Barat khususnya Eropa yang memprotes keputusan Turki mengembalikan status dan fungsi museum Ayasofya di Istanbul menjadi masjid.

Penulis buku Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia: kritik-kritik terhadap Islam liberal dari H.M. Rasjidi sampai INSISTS ini menyebut alasan orang-orang Eropa marah atas kembalinya status dan fungsi Masjid Ayasofya.

Sebab, jelasnya, dulu di era Presiden Turki Kemal Attaturk –yang dikenal sekuler–, Ayasofya diubah dari masjid menjadi museum atas permintaan pihak Barat, dalam hal ini Inggris.

“Diubahnya Masjid Ayasofya menjadi museum itu kan atas keinginannya Inggris waktu itu, keinginannya orang-orang Kristen Eropa supaya dia maunya sih diubah lagi jadi Katedral waktu itu. Cuma Mustafa Kemal kan dia menghadapi tekanan juga dari masyarakat. Makanya dia cuma berani untuk mengubahnya menjadi museum dan itu juga suatu kekeliruan karena ini wakaf, wakaf masjid ya bukan untuk museum,” ujar Bachtiar kepada hidayatullah.com, Senin (13/07/2020).

Sehingga, menurutnya, bisa dimaklumi jika orang-orang Eropa tidak suka dengan kembalinya status dan fungsi Ayasofya sebagai masjid di era kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan baru-baru ini.

“Kita bisa maklum kenapa orang Eropa tidak suka ya dengan itu karena ini simbol, simbol kekalahannya orang-orang Eropa. Jika Ayasofya menjadi masjid itu orang-orang Eropa merasakan bahwa mereka sudah kalah pada titik nadir yang paling rendah,” sebutnya.

Oleh karena itu, lanjut penulis buku Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru (2011) ini, orang-orang Eropa berusaha untuk minimal mempertahankan muka mereka jangan sampai Ayasofya –yang dulunya katedral– lantas diubah jadi masjid oleh Sultan Muhammad Al-Fatih setelah menaklukan Konstantinopel lebih 200 tahun yang lalu.

“Tapi kan itu diabaikan saja oleh Muhammad Al-Fatih untuk menunjukkan bahwa kemenangan (Kesultanan) Utsmani itu sudah sampai pada titik puncaknya memang, dengan mengubah fungsi Ayasofya sebagai katedral menjadi masjid,” tuturnya.

Dosen FEB Universitas Padjajaran (Unpad) ini pun menilai, seharusnya Barat khususnya Eropa tidak perlu memprotes dikembalikannya status dan fungsi Ayasofya sebagai masjid.

“Enggak usah protes karena kelakuan mereka lebih parah. Banyak masjid di Spanyol itu yang tadinya oleh umat Islam selama umat Islam ada di Cordova itu sudah berubah menjadi katedral menjadi gereja dalam jumlah yang lebih banyak,” ungkapnya.

Menurutnya, kalau Eropa mau konsisten soal perubahan status dan fungsi tempat ibadah itu, harusnya mereka mau dan siap atas kembalinya status Ayasofya.

“Kalau seandainya mereka ingin Ayasofya tidak diubah menjadi masjid, misalnya, itu mereka harus lakukan dulu itu banyak masjid yang mereka ubah menjadi katedral, sekarang fungsikan lagi sebagai masjid,” ujarnya.

Tiar mencontohkan seperti yang terjadi di Toledo, Spanyol. Saat itu ada masjid besar yang dibangun oleh Dinasti Umayyah. Saat Toledo ditaklukkan oleh Spanyol, abad ke-11, masjid agung Toledo itu kemudian diubah menjadi katedral.

“Padahal sebelumnya itu ketika penguasa Toledo menyerahkan kawasan Toledo itu kepada orang-orang Kristen, kesepakatannya masjid itu enggak boleh diubah menjadi gereja.

Tapi kesepakatan itu dilanggar kemudian tetap juga sampai sekarang jadi katedral, jadi gereja,” tuturnya.

“Jadi ini nih saya kira standar ganda aja itu orang-orang Eropa,” katanya juga, seraya mengakui bahwa pihak Eropa dalam hal ini tidak berlaku adil. “Mereka mau menang sendiri aja,” sebutnya. (sumber: hidayatullah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>