Shalat yang Diterima Allah Menurut Hadits Muslim

Shalat adalah sebuah ibadah yang sangat strategis bagi orang yang beriman. Di dalamnya berisi pesan-pesan moral yang harus dimanifestasikan oleh pelaksananya. Pesan-pesan itu tidak boleh diabaikan, demi perbaikan hidup dari hari ke hari. Karena Allah sendiri memberikan jaminan dalam firman-Nya,

“Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)

Shalat bertujuan untuk mengabdi kepada Allah. Kemudian, shalat juga dapat di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang shalat tidak akan memiliki lidah yang suka mengeluarkan kata-kata kotor, hati yang suka mendengki, perilaku hidup yang merusak. Justru dengan shalatlah, mencegah perilaku-perilaku yang menyimpang itu.

Banyak di antara kita yang shalat, mampu meratakan dahi di atas sajadah yang indah, tetapi jarang yang memelihara ajaran-ajarannya dalam kehidupan. Jangan-jangan ini sebagai gejala bahwa shalat kita memang tidak diterima oleh Allah SWT. Shalat kita hanya mengejar ritualnya dengan mengesampingkan makna hakikinya.

Ada 5 kriteria shalat yang diterima oleh Allah menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: Pertama, menemukan keagungan Allah dalam shalat. Allah adalah Zat Yang Mahasuci lagi Agung. Keagungan Allah dapat dirasakan di mana saja. Tetapi keagungan Allah yang diperoleh melalui shalat adalah kenikmatan batin yang susah digambarkan. Dalam shalat seseorang merasakan bahwa antara dirinya dengan Allah tidak ada jarak lagi. Semua ciptaan Allah demikian mengagumkan, bagaimana dengan Zat yang mencipta itu semua.

Kedua, tidak sombong di hadapan makhluk Allah. Salah satu pendidikan moral tertinggi dari shalat adalah mencegah kesombongan. Sombong kepada apa dan siapa pun. Jika shalat berhasil, para pengamalnya tidak akan sombong karena dia menyadari semua yang ada dalam genggaman tangannya hanyalah titipan belaka. Bukan miliknya, walau semuanya itu hadir karena upaya maksimal dan bersungguh-sungguh.

Kesombongan hanya akan menghadirkan malapetaka yang berkepanjangan. Penyakit ini harus dihindari oleh siapa saja yang ingin mendapat kedudukan mulia di sisi Allah. Di sisi Allah, nilai manusia siapa pun dia, adalah ketakwaan. Bahkan ada penyakit yang lebih berbahaya dari sombong adalah orang-orang yang berpura-pura ikhlas untuk menyembunyikan kesombongannya. Allah SWT berfirman,

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah Yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)

Ketiga, tidak mengulang perbuatan maksiat. Manusia yang baik bukan mereka yang tidak pernah berbuat salah. Mencari manusia yang tidak pernah berbuat salah sama dengan membawa garam ke laut untuk mengasinkan air laut. Sebuah perbuatan yang sia-sia belaka. Yang menjadi persoalannya adalah apakah kemaksiatan yang dilakukan menghadirkan kesadaran untuk tidak mengulangi lagi dengan jalan tobat kepada Allah SWT.

Kemaksiatan yang dilakukan berkali-kali bukan tipikal manusia yang beriman. Bukan karakter ahli shalat kepada Allah. Kemaksiatan yang pertama, selalu dijadikan sebagai kemaksiatan yang terakhir karena tobatnya yang sungguh-sungguh. Jika tidak, jangan-jangan ini pertanda shalat yang selama ini kita laksanakan tidak diterima oleh Allah.

Keempat, selalu berzikir di siang hari. Zikir artinya mengingat, mengenang, menyebut, merasakan. Orang yang karakter ruhaninya dibentuk oleh paling tidak tujuh belas rakaatnya selalu berzikir (mengingat kepada Allah) di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Allah mencintai hamba yang di siang hari tenggelam dengan aneka kesibukan yang tinggi, namun lidah, pikiran, hati dan perbuatannya selalu mengingat kepada Allah SWT. Dalam kesendirian, godaan untuk melakukan penyimpangan begitu terbuka tetapi dia mampu menahan diri. Ajaran shalat yang mengantar dirinya untuk tetap merasakan kehadiran Allah dan jiwa dan sikapnya tetap dalam keadaan bersama Allah.

Kelima, menyayangi kaum miskin, ibnu sabil, janda dan orang yang ditimpa musibah. Ini disimbolkan seusai shalat, ada satu rukun yang harus dipenuhi yakni mengucapkan salam. Salam berisi doa keselamatan, rahmat, dan berkah yang dilimpahkan Allah. Kepada siapa salam, rahmat, dan berkah tersebut disampaikan? Kepada saudara-saudara kita yang ada di samping kita.

Allah menginginkan agar implementasi ini jangan hanya selesai dalam masjid atau rumah kita tetapi harus diejawantahkan dalam kehidupan ini. Kita tidak akan disebut sebagai ahli shalat jika tetangga dan saudara-saudara terutama seaqidah sedang merintih kelaparan. Sulit mengharapkan kebahagiaan, kalau shalat kita hanya berhenti pada gerak fisik secara fiqih semata-mata.

Sudah adakah kelima kriteria di atas dalam shalat kita? Hanya Allah SWT dan Anda yang tahu. Wallahu a’lam. (w-islam.com/sumber: buku “Jalan-jalan Kebahagiaan”)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>